Angka yang mencengangkan di kepala Kita semua saat melihat jumlah orang yang ikut berjihad bersama ISIS tidak jauh berbeda antara Negara yang mayoritas beragama Islam ataupun Negara yang pemeluk Islamnya sedikit. Film dokumenter Jihad Selfie menyampaikan dengan baik angka pengikut ISIS di Australia sebanyak 350-an orang, Indonesia 300-an orang dan Malaysia 200-an orang. Ideologisasi dan ajakan untuk berjihad lewat ISIS menyebar begitu cepat ke orang-orang yang punya latar belakang yang berbeda, tetapi di usia yang masuk dalam kategori surplus saat terjadi bonus demografi.
Film dokumenter ini disutradarai oleh Noor Huda Ismail, penulis buku Temanku Teroris (2010), buku yang belum pernah saya lihat wujudnya apalagi membacanya. Syukurlah di sesi diskusi screening film ini sang sutradara menjelaskan perjalanan hidupnya saat masih nyantri di Ngruki, sempat ber-HMI, proses penyusunan naskah buku Temanku Teroris, hingga pendidikan dan perjalanan intelektualnya yang banyak melacak bagaimana benih-benih radikalisme tumbuh di anak-anak muda hingga menjadi teroris dan peran sinematik yang harus hadir sebagai media perubahan sosial.
Jihad Selfie, menghadir-hidupkan kesaksian dari anak muda calon kombatan ISIS yang ditemui sang sutradara saat berada di kedai kebab kota Istanbul, Kaesari, Turki. Gestur khas orang Indonesia mengakrabkan dengan cepat Noor Huda dengan Teuku Akbar, pemuda tanggung asal Aceh yang menempuh pendidikan di pesantren di Turki. Jarak dari Turki untuk menyeberang ke Syiria hanya dengan menebus 100 lira. Rute yang regular dilewati bagi orang yang hendak ke Syiria. Termasuk ketiga teman Akbar yang menganggap dirinya syahid karena telah jihad bersama ISIS, Yazid, Bagus dan Wildan. Kedua temannya ini tewas pada serangan yang dilakukan di Syiria.
Akbar, Yazid, Bagus dan Wildan terinspirasi untuk sangat radikal karena melihat dari sosial media, model kampanye yang juga dilakukan ISIS sejak mendeklarasikan diri. Akbar mengakui sangat bimbang ketika melihat begitu “laki”-nya sahabatnya Wildan saat berfoto dan memeluk AK-47. Dialektika teologis bukan lagi menjadi satu-satunya motif seseorang untuk memilih sikap politik “El Terorismo”, jalan radikal dan jihad menjadi “beyond religion”. Sang sutradara meyakini bahwa sosial media sebagai media propaganda dan kampanye bergeser menjadi pendukung yang aktif. Sebelum marak, sosial media menjadi pendukung yang pasif dalam merespon setiap isu. Kampanye Jihad melalui sosial media yang dilakukan oleh ISIS menyasar anak muda yang asyik dengan dunia maya dan selalu memilih sendiri/asosial terhadap lingkungan sekitarnya. Wildan sebagai sosok anak muda yang pendiam, melakukan aksi bom bunuh diri di Irak atas nama ISIS.
Penelusuran Huda ke pesantren di Ciamis dan Lamongan menemukan fakta bahwa pesantren menjadi terminal, prakondisi untuk jamaah yang hendak hijrah ke Syiria. Para pimpinan pondok pesantren melakukan pembaiatan termasuk kepada anak-anak mereka. Salah satu footage yang menarik disampaikan kepada sutradara yaitu “Alhamdulillah, orang kafir yang bikin sosial media, orang muslim yang pakai”. Tak hanya itu, pesantren di Lamongan juga menampung perempuan-perempuan yang berasal dari Poso dan Ambon, dua lokasi paling berdarah karena konflik agama sejak tahun 1999.
Deradikalisasi dengan segala upayanya tidak cukup untuk mencegah anak muda Indonesia melakukan aksi-aksi radikal. Muhammadiyah dan NU tidak boleh kita biarkan berjuang mencegah aksi-aksi radikal. Deradikalisasi dan pendekatan keamanan tidak cukup membuat jera alumni-alumni kombatan untuk melakukan kembali aksi-aksi radikal. Politik visual adalah salah satu jalan untuk mencegah anak muda melakukan tindakan terror terhadap orang dengan keyakinan dan agama yang berbeda.
Tawaran baru yang disampaikan oleh Huda adalah melalui “Digitally Literacy”. Media daring diakses dengan semangat pengetahuan, kritis terhadap konten informasi yang tersedia. Jihad Selfie ini diharapkan menjadi salah satu politik visual yang mentransformasi semangat “Digitally Literacy”. Kehadiran orang tua ataupun saudara sebagai struktur yang terkecil dalam kehidupan sosial kita sangat penting menjadi kapak es memecah hening dan galaunya anak muda saat berhadapan dengan seruan dan kampanye untuk melakukan aksi-aksi teror.
Pengakuan Akbar yang menyebabkan dia urung untuk menyusul sahabatnya ke Syiria karena sikap kritis yang sempat mempertanyakan pernyataan sahabatnya bahwa Jihad tak perlu dapat restu atau izin dari orang tua. Sementara Akbar masih percaya bahwa setiap ikhtiar harus dapat ridho dari orang tua. Gagalnya Akbar menjadi kombatan ISIS juga karena pertemuannya dengan sutradara di Turki.
Deradikalisasi yang banyak dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah sesungguhnya bukan dibebankan menjadi tugas mereka. Itu tugas kita semua untuk menjaga anak muda dalam menghargai ekspresi keagamaan yang berbeda dengan dirinya.
Deradikalisasi dan Digitally Literacy punya semangat yang sama untuk mempraksiskan upaya pencegahan generasi muda dari propaganda-propaganda ISIS.
Mengutip mantra SRuPP “Dari Sungai Jordan Hingga Laut Mediterania, Palestina Akan Merdeka”.
YK, 07 September 2016.